Senin, 22 Juni 2009

neraka


Sebelum mengenal cerita tentang surga, saya sudah mendengar ikhwal neraka. Saat berumur enam tahun, saya menyimak seorang guru ngaji bertutur cerita kepada para santrinya soal Hari Pembalasan. Neraka, kata sang guru, adalah tempat bagi manusia untuk menebus segala kesalahannya saat hidup di dunia. Sementara sorga adalah balasan bagi amal baik manusia. Di hari pembalasan, tiap orang akan ditimbang amalnya. Bila condong ke kanan, ia akan dimasukkan ke sorga. Sebaliknya, jika doyong ke kiri, ia akan dijebloskan ke neraka.

Dalam kobaran api yang panasnya sungguh tak terbandingkan, cerita sang guru dengan khidmat, tiap orang dihukum sesuai perbuatan buruknya. Para pencuri akan dipotong tangannya, lalu tangan itu kembali utuh hanya untuk ditebas kembali. Begitu seterusnya tanpa kesudahan. Sementara para pezina akan dipotong alat kelaminnya bagi yang lelaki, dan ditusuk besi runcing nan merah membara untuk yang perempuan. Juga ini berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu yang entah sampai kapan. Para pembohong dan munafik akan dipotong lidahnya kemudian diguyur cairan timah panas persis di batok kepalanya hingga luruhlah semua daging tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dan tinggal menyisakan belulang. Ini pun berlangsung tanpa kesudahan di tengah-tengah jilatan sang api abadi. Sementara mereka yang gemar memakan barang haram akan dilemparkan ke dalam sungai nanah sembari dijaga sebuah cemeti yang siap melecut untuk menenggelamkan mereka kembali pabila ada yang berusaha menepi dan mentas. Dan ini pun berlangsung dalam kurun waktu yang tak terhitung lamanya. Neraka itu, masih dalam cerita sang guru, juga dihuni binatang-binatang buas macam kalajengking dan ular berbisa yang siap-sedia meneror tiap orang yang dijebloskan ke sana.

Betapa mengerikan bahkan untuk sekedar dibayangkan!

Belakangan hari, saat duduk di bangku kelas dua SD, saya mendapati buku stensilan lusuh di lemari bibiku. Judulnya tak lain adalah Siksa Neraka. Isi ceritanya kurang lebih sama dengan yang pertama kali saya dapati dari guru ngajiku. Hanya di sana dilengkapi ilustrasi agar lebih jelas bagi pembaca dalam menangkap paparan ceritanya. Saya pun makin begidik saat membaca dan menghayati tiap-tiap gambar yang ada di dalamnya. Berhari-hari lamanya pikiran saya tenggelam membayangkan betapa mengerikannya siksa neraka. Sejak saat itu saya pun, meski masih amat belia untuk berpikir banyak soal agama, dilanda ketakutan akut. Alih-alih membayangkan tuhan sebagai sosok yang pengasih dan penyayang bak seorang ibu, saya justru menghayati tuhan sebagai sosok patriark yang kejam dan semena-mena persis sang maharaja lalim.

James Joyce, novelis kenamaan Irlandia, turut menggambarkan siksa neraka dalam novel semi-otobiografisnya, A Portrait of the Artist as a Young Man. Di sana Joyce menggunakan bahasa yang seakan-akan hendak ditujukan untuk meneror pembacanya. Berikut saya petilkan sebagian:

Siksaan terakhir yang paling dahsyat dari segala siksaan di tempat yang mengerikan itu adalah keabadian neraka! Oh, sungguh kata yang mengerikan dan menakutkan. Keabadian! Pikiran manusia yang seperti apa yang dapat memahami ini semua? Meskipun rasa sakit di neraka dulu tidaklah begitu mengerikan jika dibandingkan dengan sekarang, tetapi rasa sakit akan benar-benar nyata saat siksaan itu ditakdirkan untuk berlangsung selamanya. Tetapi, di samping rasa sakit itu tiada pernah berhenti, pada saat itu juga, sebagaimana kalian ketahui, rasanya sangat kuat dan tak dapat ditanggulangi, terus bertambah hingga tak tertanggungkan. Menanggung rasa sakit karena sengatan serangga selama-lamanya saja sudah bisa menjadi siksaan yang mengerikan. Lalu bagaimana rasanya jika harus menerima siksaan yang berlipat-lipat sakitnya di neraka selamanya? Selamanya! Tidak setahun atau seabad, tapi selamanya. Coba bayangkan arti ucapan mengerikan ini. Kalian sering kali melihat pantai. Betapa bagusnya butir-butir pasir itu! Dan betapa banyak butir pasir yang dibutuhkan untuk menjadi segenggam pasir yang diambil anak kecil saat bermain. Kini, bayangkan segunung pasir satu juta mil tingginya, menjulang dari bumi hingga ke langit yang terjauh, dan satu juta mil lebarnya, membentang dari ruang yang terpencil, dan satu juta mil tebalnya: bayangkan gundukan besar partikel pasir yang tak terhitung jumlahnya dilipatgandakan dengan jumlah daun yang ada di hutan, tetes air di samudera luas, bulu-bulu pada burung, sisik-sisik pada ikan, bulu-bulu pada binatang, atom di udara bebas: dan bayangkan pada akhir setiap satu juta tahun seekor burung kecil datang ke gunung itu dan membawa pergi sebutr pasir dari sana dengan paruhnya. Berapa juta abad yang dibutuhkan burung itu untuk memindahkan, bahkan cuma satu kaki persegi pasir dari gunung itu, berapa banyak eon abad untuk memindahkan seluruh gunung itu. Namun pada akhir rentang tahun yang sangat panjang itu kita masih belum bisa menyebutnya sepersekian kejap dari keabadian. Saat berbilyun-bilyun dan bertrilyun-trilyun tahun itu telah berakhir, kita tahu bahwa itu masih belum dikatakan sebagai awal keabadian. Dan jika gunung itu muncul dan tenggelam sesering terbit dan tenggelamnya bintang di langit, atom di udara, tetes air di lautan, daun di pepohonan, bulu pada burung, sisik pada ikan, rambut pada binatang, pada akhir setiap kemunculan dan kesirnaan gunung yang luasnya tak terukur itu tak bisa dikatakan sekejap dari keabadian telah berakhir, bahkan pada saat itu, pada akhir setiap masa sepanjang itu, setelah eon waktu yang bisa membuat kita pusing meski hanya memikirkannya saja, kita belum bisa mengatakan bahwa keabadian telah dimulai!”

Siksa nan abadi – betapa mengerikannya bahkan untuk sekedar dibayangkan!
Sementara saya mendapati uraian panjang kisah neraka, cerita ikhwal sorga yang saya dengar tak lebih dari “negeri yang mengalir sungai-sungai di bawahnya dan dihuni para bidadari yang selalu dalam keadaan suci”. Betapa terasa banal dan binal imajinasi para patriark dalam menggubah kisah sorga tersebut.

Kini saya berpikir, apa gunanya agama turut menyertakan “ancaman” siksa neraka dan “iming-iming” kehidupan surga dalam paket ajarannya di dalam kitab suci. Banyak orang yang pada akhirnya membaca kisah-kisah itu secara harfiah. Dan tak sedikit pula dari mereka yang kemudian menjadi picik pikirannya sehingga terjebak dalam militansi dan fanatisme buta dogma agama. Dalam hal ini, fundamentalisme tumbuh subur dalam tiga agama Ibrahimiyah yang memang mendendangkan syair surga dan neraka dalam kredo-kredonya.

Mungkinkah manusia kelewat bengal dan bebal untuk diajar dengan kebijaksanaan, sehingga para nabi mesti menggubah kisah surga dan neraka untuk memberadabkan hidup? Tapi bila itu alasannya, alangkah absurd dan lancutnya ia karena betapa pun kisah itu kemudian diimani orang ramai, manusia tetap saja bebal, bengal, dan jagal...[]
maret 2009

gio

Sejak kecil saya sering melihatnya di pasar desa. Ia lelaki malang yang terlahir dengan penglihatan yang sama sekali tak berfungsi, dan orang-orang di pasar juga menyebutnya “wong gendeng” (orang gila) karena akalnya yang kurang waras. Namanya Gio. Usianya terpaut beberapa tahun saja di atas saya.

Tiap pagi ia datang ke pasar dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping, lantas berkeliling dari satu ruko ke ruko lain, meminta sekedar uang seratus rupiah kepada para pedagang. Anehnya, meski dua matanya buta, ia selalu bisa mengenali uang logam yang diberikan kepadanya. Ia selalu menampik bila diberi uang yang bukan uang logam seratusan rupiah. Agak komikal mungkin kedengarannya, seperti halnya kisah Stevie Wonder yang juga seorang tunanetra. Suatu hari Stevie diperintahkan oleh gurunya untuk membantu kawan-kawannya yang tidak buta menangkap seekor tikus yang masuk ke ruang kelas. Dan siapa menyangka, Stevie-lah yang justru dapat menangkapnya, bukan kawan-kawannya yang berpenglihatan normal. Barangkali alam memang selalu memberikan kompensasi kepada orang-orang yang terlahir dengan tubuh tak sempurna seperti Gio dan Stevie.

Saat kecil dulu saya memang kerap diajak nenek berjualan di pasar. Nenek sendiri punya sebuah ruko yang terletak tak jauh dari pintu masuk pasar di sebelah timur. Setiap Gio datang, saya-lah biasanya yang diminta nenek untuk mengulurkan uang receh seratus rupiah. Dikumpulkannya uang-uang receh itu dengan telaten hingga terkumpul dalam jumlah ribuan. Bila mengingat itu terjadi belasan tahun silam, jumlah tersebut tentunya tidak kecil. Harga sekilo beras saat itu masih dikisaran limaratusan rupiah. Setelah berkeliling pasar, biasanya ia singgah di salah satu warung nasi yang ada di samping pintu masuk. Di sana ia membeli sepiring nasi dan segelas teh untuk sarapan. Satu lagi hal yang ganjil, meski pikirannya kurang waras, ia tak jarang menolak bila pemilik warung berkenan memberinya sarapan secara cuma-cuma. Ia bersikeras untuk membayar sarapannya itu. Ia hanya meminta duit dan bukan meminta sesuap nasi, begitu ia biasanya berkilah. Tak sedikit ibu-ibu di pasar yang menatapnya dengan pandangan iba, tapi ada juga yang memandangnya dengan jijik karena tubuhnya yang lusuh dan menebar bau tak sedap. Sejak merasa akrab dengan kehadirannya, kerap saya bertanya-tanya mengapa ia bernasib buruk seperti itu, terlahir dengan cacat tubuh dan sekaligus mental? Seperti apa rasanya menanggungkan hidup seperti yang dijalani oleh Gio itu? Dan kenapa hidup nampak berlaku begitu kejam pada seorang anak manusia?

*

Membicarakan problematika hidup sejatinya adalah seperti upaya mengurai benang kusut yang tak akan pernah tuntas sampai ajal keburu datang merenggut. Semenjak mitologi penciptaan Adam-Hawa diceritakan, sejak jabang bayi dilahirkan dari rahim seorang ibu, sejak itulah centang perenang benang-benang kehidupan mengulur dalam pola-pola tak beraturan yang dari hari ke hari akan kian kusut-masai.

(Tak salah kiranya bila Budha Gautama menyebut kehidupan sebagai “alam samsara”, juga Siti Jenar yang menyebutnya dengan terminologi “alam kematian”. Sementara Yesus mengatakan bahwa “kerajaannya tak berada di bumi”: sebuah ungkapan yang menyiratkan betapa kehidupan di muka bumi jauh dari kondisi yang diidealkan umat manusia.)

Maka bukan hal aneh bila seseorang tak pernah paham pada hal-ikhwal nasib yang menimpanya sebab memang kekusutan benang-benang kehidupannya berkembang melampaui kemampuan nalarnya untuk mengurainya. Tak ada satu pun manusia yang mampu memahami kehidupannya sendiri; selalu tersisa lubang hitam menganga yang tak pernah habis untuk dimengerti. Inilah barangkali yang disebut sebagai “Misteri Eksistensi”. Tapi untungnya, dalam menjalani kehidupan orang tak harus memahami hakikat eksistensinya –biarpun notabene ia dikaruniai kemampuan nalar oleh alam.

Dan sebab itulah, mungkin, orang seperti Gio tetap menjalani hari-harinya dengan tabah meski ia sendiri tak pernah bersentuhan dengan pemikiran eksistensial karena akalnya yang kurang waras, dan juga tak pernah menyaksikan riuhnya warna-warni kehidupan dengan matanya.

Atau jangan-jangan memikirkan hakikat eksistensi justru akan menggiring manusia pada kesenyapan hidup dan keterasingan akut seperti umumnya dialami para filsuf. Siapa tahu?!

Hidup untuk dijalani, bukan dipikirkan –sebuah ungkapan satir namun tak begitu salah kiranya...[]

feb 2009

petilasan diri (1)

- sang pecundang cilik

Kau lahir di suatu sore. Dua buah jarum jam bersua di angka tiga. Itu berarti pukul tiga limabelas. Entah tanggal berapa saat itu, entah bulan apa, juga tahun berapa. Aku hanya tak ingin menuliskannya, bukan tak tahu persisnya. Ya, aku tahu persis meski tak menyaksikan sendiri kelahiranmu, meski itu hanya kudengar dari orang-orang dan kubacai dari sebuah akta kelahiranmu. Bahkan bapakmu mencatatnya di beberapa tempat: lemari pakaian, meja tulis, buku agendanya yang setebal kamus, bahkan di sebuah bola plastik mainanmu semasa kecil dahulu. Di mana-mana kusaksikan tanggal, bulan dan tahun kelahiranmu, dan semua sama. Jadi aku tahu persisnya, hanya aku tak perlu mencatatnya di sini. Yang perlu kucatat lagi, ini: wetonmu adalah Sabtu Pon. Itu kutahu persis karena dulu, saat kau masih jabang bayi hingga kanak-kanak, setiap Sabtu Pon nenekmu rutin membuat jenang merah dan kemudian membagi-bagikannya kepada para tetangga dan anak-anak kecil di sekitar rumah.

Menurut beberapa orang kerabat dan tetanggamu, Sabtu Pon adalah weton yang bagus. Dan itu berarti, sambung mereka, nasib dan peruntunganmu ke depan juga bagus. Entah bagaimana mereka memastikannya, menghitung angka-angka dari kombinasi hari sabtu dan pasaran pon itu. Betapa ruwet. Kau bahkan tak bisa menghitungnya sendiri. Juga aku. Kau, juga aku, hanya percaya: separuh nasib di tangan sendiri, separuh lagi dalam genggaman misteri kehidupan. Tapi semenjak kapan kau dan aku paham akan hal-ikhwal nasib, hingga kau dan aku fasih merumuskan tentangnya?

Dan tidakkah kau sadar, sebagai orang Jawa yang masih berpola pikir tradisional, weton jauh lebih bermakna dari sekedar peringatan ulang tahun. Ulang tahun adalah budaya orang bule, kata nenekmu, dan kenapa pula mesti dirayakan! Dan ini alasan tambahan mengapa aku tak sudi menuliskan tanggal, bulan, dan tahun kelahiranmu di sini. Weton lebih penting bagi orang Jawa sebagai acuan untuk menjalani hidup, mulai dari mencari pekerjaan hingga mencari jodoh, mulai dari jabang bayi sampai masuk ke liang lahat. Hanya orang Jawa yang telah hilang ke-Jawa-annya saja yang lebih memilih merayakan susutnya jatah hidup lewat momen ulang tahun, sembari menyisihkan perhitungan hidup atas dasar Weton kelahirannya. Itu ujar nenekmu. Dan kau tetap tak paham, tak mau paham, dan tak pernah paham, segala hal-ikhwal nasib dan jodoh dan yang lain-lain yang diterakan dari Wetonmu sendiri. Mungkin karena kau hidup di jaman modern, bernafas dan mengasup segala sumber pengetahuan di dunia modern, sehingga amat wajar bila kau kesulitan memahami segala yang berlaku di jaman silam. Kau tak bisa melawan semangat jaman, juga mereka yang masih memegang erat-erat hal-ikhwal peninggalan jaman lampau, karena pelan-perlahan pasti akan rontok juga hal-hal tradisional itu dari sanubari dan palung-palung keyakinan mereka. Tak seorang pun dapat mengelak dari arus jaman kecuali ia akan hidup terasing dan menderita. Dan kau mungkin telah paham itu. Kau lahir dan bertumbuh dalam jaman modern; jaman ilmu pengetahuan dan teknologi, yang terbit dari dunia nun di belahan barat sana semenjak tiga-empat abad lewat.

*

Kelahiranmu menjadi berkah bagi banyak orang: kedua orang tuamu, kakek-nenekmu, para bibi dan pamanmu, semua handai taulan, bahkan para tetangga dan rekan orangtua dan kakek-nenekmu. Terutama untuk kedua nenek dan kakekmu, kau adalah cucu pertama mereka. Betapa girang tak kepalang mereka berempat. Cucu pertama dari anak yang pertama mereka nikahkan. Kelahiranmu selaiknya denting bel yang memecah kesunyian hidup mereka: kesunyian dalam penantian hadirnya seorang cucu—kesunyian khas orang usia lanjut yang rindu adanya tangis dan tawa anak kecil yang telah belasan-puluhan tahun lenyap saat anak-anak mereka sendiri telah tumbuh dewasa, menjadi “orang”.

Lebih-lebih bagi kakek dan nenekmu dari pihak ayah, kau sungguh berkah tak terkira. Ayahmu anak semata wayang. Dan itu berarti selama hidup mereka berdua, sebelum kelahiranmu, hanya sekali mereka punya tempat mencurahkan kasih sayang, tempat mencari kepuasan dan kegembiraan dengan menimang-nimang anak kecil, yakni ayahmu. Memang, ada tiga saudara sepupu ayahmu yang diasuh kakek-nenekmu, diambil sebagai anak angkat, tapi hanya seorang yang diasuh sedari bayi. Dua orang lainnya baru diampu pengasuhannya di usia remaja. Tapi kehadiran para kemenakan, termasuk mengasuh yang seorang sejak bayi, tentu takkan memberi kepuasan dan kebahagiaan sebesar hadirnya seorang cucu bagi mereka, cucu pertama dari anak semata wayangnya, yakni kau. Betapa tak terkira bahagianya mereka. Kau menjadi tempat curahan kasih, atau mungkin justru jadi semacam boneka mainan yang berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Semasa balita, tubuhmu tergolong bongsor, cerita nenek dan para tetangga dekat rumah. Dan belakangan kubuktikan sendiri dengan menyaksikan foto-fotomu saat masih kecil itu. Tubuhmu sehat, tak kurang suatu apa. Sedari kecil kau tak pernah mengidap penyakit yang aneh-aneh. Hanya asma yang pernah kau derita beberapa kali hingga usia tujuh tahun. Lewat dari itu, kau tak pernah direnggut sakit yang aneh-aneh. Paling-paling, kau hanya terserang demam, pilek, diare, dan beberapa kali sakit gigi (karena saat kecil kau suka makan manisan dan suka mangkir bila diperintah bapakmu untuk menggosok gigi).

Ya, sebagai anak tunggal, ayahmu diminta oleh kedua orang tuanya, yakni kakek-nenekmu, juga didukung para kerabatnya, agar tinggal menyatu dengan mereka berdua—tinggal serumah dengan mereka. Dan rumah di sudut jalan itu pun menampung sebuah keluarga besar: kau, kedua orangtuamu, kakek dan nenekmu, dan tiga saudara sepupu ayahmu. Dan kau makin tak ubahnya boneka hidup di tengah-tengah mereka, berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Dan bagaimana dengan perasaanmu sendiri di tengah-tengah mereka semua? Ah, kau belum menyadarinya mungkin. Atau barangkali kau tak lagi ingat bagaimana suasana hatimu saat itu. Demikian pula aku tak tahu. Tak mungkin orang bisa tahu pasti apa sedang dirasa orang lain. Hanya kutahu kau sesekali tertawa, sesekali hanya tergelak dengan sedikit senyum, dan di lain saat menangis. Kau barangkali masih ingat, sekalipun sudah lupa bagaimana persisnya perasaanmu saat itu.

Dengan pertolongan beberapa lembar fotomu di masa balita, juga dari tutur cerita kakek-nenek dan orangtuamu serta sanak keluarga lainnya, kau bisa sedikit mengingat-ingat apa-apa yang terjadi dalam hidupmu bertahun-tahun silam, mengungkit-ungkit cerita untuk kemudian kau bariskan dalam catatan.

*

Saat berusia dua-tiga tahun, kau tumbuh jadi anak yang hiperaktif, banyak tingkah. Juga bicaramu seolah kau anak berusia sepuluh tahun. Kau juga selalu disiksa rasa penasaran akan banyak hal di sekelilingmu. Kau selalu menanyakan macam-macam hal pada siapa pun yang ada di dekatmu. Pertanyaanmu selalu berkisar pada soal “kenapa”—jenis pertanyaan yang membutuhkan penjelasan, tak jarang panjang. Dan banyak orang merasa kewalahan menghadapi serentetan pertanyaan, meski tak perlu ketakutan seperti saat mendengar bunyi serentetan tembakan serdadu seperti dialami ayah dan kakek-nenekmu selepas peristiwa G30S dulu. Kau selalu melontar aneka pertanyaan. Ayahmu pernah berkata, sedikit bercanda namun bernada cemooh: kau seperti wartawan saja! Aku tak tahu pasti, adakah ayahmu kehabisan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Atau barangkali ia hanya merasa jenuh dan kesal menghadapi engkau yang selalu dan selalu melontar pertanyaan “kenapa”. Aku tak ingat persis, apa kau pernah bertanya tentang hidup dan manusia, seperti misalnya: “kenapa harus ada kehidupan?”, “apakah dunia?”, atau “siapa sebenarnya manusia itu?”. Kukira kau tak pernah, atau belum pernah saat itu, melontarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Itu jenis pertanyaan filsafati, yang ribuan filosof, baik yang sekuler maupun yang agamais, berusaha mengungkap jawabannya. Dan tak satu pun dari mereka berhasil menemukan jawaban yang tuntas dan memuaskan semua orang. Satu pertanyaan “aneh” yang pernah kau lontarkan pada ayahmu, seingatku, adalah ini: “kenapa orang harus makan?” Dan kontan bapakmu menjawab sekenanya sambil menahan jengkel di dalam dadanya. “Agar tidak mati,” kata bapakmu. Dan nampaknya kau puas waktu itu, saat menerima jawaban itu, meski belakangan hari kau tahu, nyawa manusia tak terletak di dalam perutnya: banyak orang mati padahal mereka tidak sedang menanggungkan kelaparan.

Di usia balita itu pula, kau diajari menghitung dengan menggunakan Bahasa Inggris: one, two, three, dan seterusnya hingga hitungan ke seratus. Tak lain adalah seorang pamanmu, yang duduk di bangku SMA dan mahir dalam Mata Pelajaran Bahasa Inggris, yang mengajarimu. Dan ia nampaknya senang melihat kau yang masih kecil sudah dapat mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Inggris biarpun tak begitu fasih.

Satu lagi yang perlu kau tahu. Kau punya watak temperamental. Setidaknya di masa kecil kau telah buktikan itu pada semua orang. Kau sering menangis meraung-raung, kadang sembari merusak perabot dapur, saat ada keinginanmu yang tak terpenuhi, atau saat ada hal-hal yang membuat perasaanmu jengkel. Seorang bibimu suatu kali pernah bertutur cerita: Di suatu sore, saat baru bangun dari tidur siang, kau menangis meraung-raung karena mendapati ibumu tak ada di rumah. Ibumu pergi arisan di Balai Desa, mewakili nenekmu yang berhalangan hadir. Dan apa kau perbuat selanjutnya? Kau obrak-abrik kue bolu bikinan nenekmu di dapur sembari masih kau lanjutkan tangismu yang meraung-raung itu. Itu terjadi saat umurmu sekitar dua tahun. Kau memang temperamental. Seperti ayahmu. Seperti juga kakekmu.

*

Di usia empat tahun, kau dimasukkan ke sebuah Taman Kanak-kanak (TK) yang ada di desa kelahiranmu. TK itu milik sebuah yayasan pendidikan yang bernaung di bawah organisasi Islam terbesar di negeri ini. Di sana kau sekelas dengan sepupu jauhmu. Mbak Erna, begitu kau biasa memanggilnya. Usianya setahun lebih tua dari kau. Tapi aneh. Kau hanya bertahan satu minggu di sekolah TK. Kau bilang pada bapak-ibumu bahwa kau tak kerasan dengan suasana di TK. Bukan keinginan untuk pindah sekolah yang ada di benakmu, tapi keinginan untuk keluar. Bagaimana bisa kau tak kerasan di TK. Kau bosan hanya diajari bernyayi, melukis, dan bermain aneka jenis permainan. Kau ingin sekolah yang mengajarimu membaca dan menulis, katamu pada ibu-bapakmu. Dan itu berarti kau mesti masuk ke Sekolah Dasar (SD). Sedang umurmu baru empat tahun. Padahal rata-rata anak masuk SD adalah enam atau tujuh tahun. Dan kenapa kau mesti tak suka pada kegiatan bernyayi, melukis, dan bermain yang ada di TK. Jarang ada anak yang tak bersedia saat diminta dan diajari bernyayi, melukis, dan bermain. Kau rupanya takut bernyayi, melukis, dan bermain di antara banyak teman sebaya. Kau takut. Kau tak bisa bergaul dan menikmati pergaulan dengan sebayamu. Dan ini janggal rasanya. Di saat banyak anak sebayamu menikmati kegiatan bernyayi, melukis, dan bermain, kau malah didera ketakutan berada di tengah-tengah mereka. Sungguh aneh rasanya. Dan kau hanya meringkuk di dalam kelas, sembari menanggungkan ketakutan di lubuk pikiranmu, seorang diri. Tak seorang pun tahu dan paham apa yang sedang kau rasa di sana—jauh di lubuk pikiranmu. Hiperaktifmu selama ini seolah raib di antara sebayamu di TK itu. Kenapa kau berubah jadi pecundang secepat ini. Mana keceriaanmu dulu—keceriaan di awal-awal kehidupanmu. Dan di minggu ke dua itupun, kau hengkang dan tak pernah kembali lagi. Meninggalkan TK. Meninggalkan mbak Erna sepupu jauhmu itu. Sementara mbak Erna berhasil menyelesaikan masa TK-nya dua tahun kemudian. Ia lulus dengan sederet prestasi pernah diraihnya, sementara kau tak lebih dari seorang pecundang kecil. Kau hengkang dari TK. Kau pecundang.

Siapa sangka, bahkan kedua orangtuamu pun kukira tidak, kau akan menekuk muka dalam-dalam di awal-awal hidupmu sebagai insan modern yang, tak bisa tidak, mesti menempuhi sekian jenjang bangku pendidikan. Dan kau telah kalah pada jenjang yang paling awal sekali; kekalahan yang tentu tak akan bisa kau remehkan karena ia tak lain adalah “sebuah sandi” yang menyimpan pesan-pesan tentang apa-apa bakal kau hadapi di jenjang-jenjang berikutnya, bahkan bukan tak mungkin dalam keseluruhan hidupmu. Dan “sebuah sandi” itu baru sanggup kau urai dan kau interpretasikan belasan tahun kemudian. Tidakkah amat terlambat bagiku, kau bertanya-tanya pada diri sendiri.

Tapi bila kau percaya bahwa ketidaktahuan justru menyimpan berkah, kau tak perlu sesali segala yang telah lewat. Ketidaktahuan bukan hal yang buruk. Setidaknya ketidaktahuanmu selama bertahun-tahun itulah yang telah menggerakkan hidupmu untuk mencari dan mencari—mencari jawaban atas sebuah tanda tanya besar dalam hidupmu, juga mengurai pesan-pesan tersembunyi dari kejadian-kejadian berbeda namun berpola serupa dalam hidupmu, termasuk kegagalan pertamamu di bangku TK itu.

Setidaknya, meminjam parafrase bijak seorang pujangga, “hidup jadi berarti bukan karena menggapai. Hidup jadi berarti karena mencari.”

Dan di tahap ini, kini kau telah temukan salah satu yang kau cari…[]

januari 2009

wardi

- satu-satunya perjudian yang halal adalah hidup itu sendiri

Wajahnya tirus dengan kulit hitam dan seperti nyaris berkeriput. Perawakannya kecil dan pendek. Usianya sekitar 35 tahun. Belum tua benar, memang. Namun beban hidup yang menggunung di punggungnya telah merenggut tubuhnya hingga membuatnya mirip orang yang telah berusia kepala empat atau bahkan lima. Saya mengenalnya sejak kecil. Kebetulan ia adalah tetangga dekat rumah. Wardi, begitulah ia biasa dipanggil.

Malam itu saya, bersama beberapa anak muda lainnya, bercengkrama dengannya di gardu siskamling di salah satu perempatan jalan desa kami. Ia mengutarakan niatnya untuk merantau ke Pulau Bali dalam waktu dekat ini. “Nyari duit gede,” katanya memberi alasan, “bosan terus-terusan jadi kuli bangunan dan buruh tani. Tak ada hasil berlebih, sementara harga sembako makin tak terbeli.” Sebagai anak sulung dengan enam orang adik yang kebanyakan masih berusia remaja, juga kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, Wardi adalah tumpuan utama ekonomi keluarga. Sejak umur belasan tahun ia jalani hari-harinya sebagai buruh tani, kadang juga menjadi kuli bangunan bila ada tukang-tukang bangunan yang mengajaknya turut serta dalam pekerjaan mereka. Sebagai tulang punggung keluarga, ia tak bisa pilih-pilih pekerjaan. Kerja apapun asalkan halal dan menghasilkan uang, ungkapnya. Mungkin juga itu sebabnya, di usia yang telah kepala tiga, ia belum juga menikah. “Boro-boro mau nikah, nyari duit buat menyambung hidup keluarga sendiri saja masih susah,” keluhnya suatu hari saat dicecar pertanyaan para tetangga. Dalam adat kehidupan desa kami, lelaki yang telah lewat 30 tahun dan masih melajang akan dikatai sebagai “bujang lapuk”, sementara perempuannya akan disebut “pratu” alias perawan tua.

Setahu saya, limabelas tahun silam Wardi pernah mengadu nasib di tanah Papua. Tak kurang lima tahun ia bekerja di propinsi paling timur itu. Mula-mula bekerja sebagai buruh di toko bangunan milik seorang pendatang asal Surabaya di salah satu sudut kota Jayapura. Belakangan hari, karena tergiur uang yang lebih besar, ia ikut-ikutan mendulang emas di daerah Timika. Waktu itu sedang tren “penambangan liar” oleh masyarakat. Seturut penuturannya, ia dan ribuan orang lainnya, baik pribumi maupun pendatang, mengais sisa-sisa emas di sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah cair (tailing) Freeport (PT. Freeport-McMoran Indonesia). Hasilnya lumayan waktu itu, tuturnya. Sebulan ia bisa mengumpulkan uang antara limaratus ribu hingga sejuta rupiah. Uang senilai itu tergolong besar mengingat nilai satu dolar saat itu masih di kisaran duaribuan rupiah. Kira-kira setara dengan dua-tiga kali lipat gaji pegawai negeri rendahan waktu itu. Dengan untung yang diraup sebesar itu, serasa ia tak perlu menaruh iri-hati pada keberadaan Freeport, meski perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu “menyerobot” tak kurang tiga juta hektar kawasan pegunungan Erstberg dan Garsberg di Mimika untuk dijadikan daerah konsesinya, dan setiap tahunnya puluhan miliar dolar mengalir deras ke pundi-pundi bangsa Amerika. Sebagai orang kampung yang hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, orang-orang seperti Wardi cukup puas dengan hasil peluhnya sendiri, yang mungkin “tak seberapa” itu, dan tak perlu tahu bahwa orang-orang dari negeri asing nun jauh mendapat hasil beribu-ribu kali lipat sembari meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah dan juga menyulut konflik sosial akibat luka ketidakadilan yang menyayat sanubari jutaan warga pribumi Papua (dan Jakarta, selaku pemberi ijin konsesi Freeport, alih-alih memperbaiki keadaan, justru mengirim berbatalion-batalion serdadu untuk "menjaga keamanan" Freeport dari “ancaman” pribumi).

Saya jadi teringat ungkapan satir Minke, sang tokoh utama roman Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, tepatnya di sekuel ketiga, Jejak Langkah, yang kurang-lebih demikian: “berbahagialah mereka yang tidak mengetahui (praktek ketidakadilan)”. Syahdan, di sekuel Jejak Langkah yang berlatar-waktu awal abad keduapuluh itu, Minke merasakan begitu amat beratnya beban kewajiban yang ditimpakan di punggungnya untuk membangunkan sebangsanya dari tidur-nyeyak kebodohan yang melanggengkan penghisapan dan penistaan kolonial Belanda atas pribumi Hindia. Hanya mereka yang tak menyadari bahwa sesuatu yang terjadi di depan wajahnya adalah sebuah ketidakadilan sajalah, yang bisa hidup tenang meski dalam kemiskinan akut sekalipun. Dan orang-orang seperti Wardi mungkin masuk di dalamnya. Yang Wardi tahu dan diimaninya bulat-bulat, seperti pernah dituturkannya suatu hari, nasib manusia telah “ditulis” di lembaran-lembaran Lauhul Mahfudz. Dan hanya Tuhan sajalah yang tahu. Manusia hanya bisa menerka, mereka-reka, meraba-raba, dengan usaha semampunya. “Hidup tak bedanya perjudian. Kita hanya mempertaruhkan nasib dengan ikhtiar, dan tak pernah tahu apa bakal terjadi,” katanya. Dan setahunya, hasil mendulang untung di Papua itu sudah berlipat-lipat besarnya dibanding uang yang bisa ia peroleh di kampung halaman sendiri. Dan sudah barangtentu ia bersyukur untuk semua itu.

Lima tahun mengadu peruntungan di bumi Papua itu memang membuat kehidupan ia dan keluarganya relatif membaik. Tapi itu tak berlangsung lama. Tipikal khas kebanyakan orang desa apabila mendapatkan rejeki berlimpah adalah “kagetan”. Maksudnya, mereka tak begitu pandai mengelola uang. Uang dalam jumlah berlimpah ruah pun tak akan bertahan lama karena akan segera dibelanjakan barang-barang yang sesungguhnya tak begitu mereka perlukan. Jarang terbersit di benak untuk menginvestasikan uangnya, entah dibelikan hewan ternak ataupun ditabung guna berjaga-jaga untuk kebutuhan di hari depan. Dan ironisnya, jarang pula orang desa yang punya keterampilan berlebih untuk memulai suatu usaha di berbagai bidang, termasuk perniagaan. Kebanyakan mereka hanya hidup sebagai buruh tani, turun-temurun. Alhasil, rejeki yang dibawa pulang Wardi dari Papua itupun kini hanya menyisakan bangunan gedong 5x7 meter rumahnya yang sebelumnya hanya rumah gedek. Setahun-dua berselang sejak kepulangannya dari Papua, kesulitan ekonomi kembali mendera ia sekeluarga. Ia harus kembali menjadi buruh, baik buruh tani maupun buruh bangunan, untuk mengepulkan asap dapur keluarganya.

Dan sungguh saya tak menyadari, tak terlintas barang sekilas pun dalam benak, persuaan dengan Wardi di gardu siskamling malam itu ternyata adalah perjumpaan untuk terakhir kalinya. Beberapa saat lalu, seorang kawan di desa mengabari bahwa Wardi terseret arus sungai saat hendak berangkat menuju ladangnya yang terletak di seberang Sungai Mayang. Pagi itu, rakit-kerek yang ia pergunakan untuk menyeberang bersama tiga orang lainnya terbalik. Dua orang berhasil diselamatkan, sedangkan Wardi beserta seorang lainnya ditemukan telah menjadi jenasah keesokan harinya. Musim penghujan memang telah membuat air sungai selebar duapuluhan meter itu meluap, dan hanya rakit-kerek yang menjadi tumpuan orang-orang yang hendak berladang dan mencari rumput di tanah perladangan di seberang sungai. Dan di atas rakit penyeberangan itulah hidup Wardi dipertaruhkan—dan ia kalah. Juga ia kalah sebelum mencoba peruntungan di Pulau Dewata seperti yang ia rencanakan sebelumnya.

Manusia memang tak pernah tahu bagaimana hasil dari tiap usahanya, tak pernah tahu apa yang bakal terjadi dalam hidupnya, tak pernah tahu akan seperti apakah wujud dari segala rencana yang ia bikin, juga tak pernah tahu kapan maut datang menyergap.

Terngiang kembali ucapan Wardi: Hidup tak bedanya perjudian. Kita hanya mempertaruhkan nasib dengan ikhtiar, dan tak pernah tahu apa bakal terjadi.

Mungkin hidup memang sebuah perjudian; perjudian yang halal..[]

januari 2009

it's my life

hidupku adalah pencarian sesuatu yang pernah kumiliki namun kini hilang,

hidupku adalah berdiri di persimpangan, di mana setiap jalan yang tersedia terlihat sebagai sebuah ketidakpastian untuk sampai di tempat tujuan,

hidupku adalah sebuah pendakian, yang selalu kutemui jalan-jalan terjal berbatu berliku dengan jurang-jurang menganga teramat dalam di kanan-kiriku, dan mesti kuberanikan diri untuk dapat menggapai puncak,

hidupku ada dalam penjara yang mengekang, dan aku tengah menunggu saat-saat bahagia di mana kebebasan akan datang, segala kewajiban akan sirna, dan aku hidup penuh kedamaian dan kebebasan tanpa ada lagi aturan ini-itu,

hidupku adalah sebuah persaingan tanpa henti, di mana aku dan manusia-manusia lain saling berebut mengisi dunia dengan karya masing-masing dan meminta imbalan dari dunia untuk karya-karya itu,

hidupku adalah sebaran titik-titik, di mana setiap titik punya koordinatnya sendiri-sendiri, namun semua memiliki keterkaitan dalam selembar bidang, dan akan menjadi sebuah bentuk yang indah bila satu sama lain dirangkaikan dengan tepat,

hidupku merupakan sebuah medium tempat hal-hal yang berlawanan datang silih berganti dengan saling meniadakan satu sama lain: kecerdikan dan kepandiran, dukalara dan sukacita, semangat dan kemalasan, ambisi dan kepasrahan, terang dan kegelapan, serta semua hal yang tak bisa kusebut satu persatu namun nyata adanya,

hidupku kadang sebuah khayalan-khayalan yang menerawang jauh ke depan, hingga membuatku bagai orang gila: membayangkan gunung tak berpuncak, laut tanpa pantai, sungai yang tak bermuara, dan jalan-jalan yang tak memiliki ujung dan persimpangan,


hidupku sekali waktu seperti burung-burung yang terbang bebas ke sana-kemari, berkelana dalam birunya langit dan bermandikan angin-angin yang bertiup menerpa tubuhnya, menghirup udara biru sepuas-puasnya, namun kadang pula kurasakan hidup yang bagai ular-ular melata, bergerak dari satu kegelapan lorong menuju lorong-lorong lain yang tak kalah gelapnya, dan membuat hidupku sesak oleh pekatnya bau tanah (tapi aku sendiri berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah),


di satu waktu hidupku selalu mengekor adat kebiasaan nenek moyang, tanpa sedikit pun berpikir untuk membantah, seperti sepucuk daun terapung di atas air sungai yang mengalir deras,

di lain waktu aku hidup dengan melawan budaya-budaya dan dogma kuno para leluhur yang bagaikan lorong-lorong gelap dan pengap, meskipun banyak orang akhirnya menuduhku sebagai pembangkang pembawa sial,


masa-masa dalam hidupku lebih banyak kuhabiskan untuk merubah-rubah warna dalam satu lukisan kehidupan, bukan untuk mencari kanvas mana lagi yang mesti kulukisi dengan gambar obyek baru,


hidupku kadang menoleh ke belakang, melihat apa-apa yang telah berlalu sebagai bahan-bahan yang akan kugunakan untuk mereka-reka sebuah ketidakpastian di depanku yang sama sekali tak terjangkau nalar dan inderawiku,

hidupku kadang bagai beban berat yang menindihku kuat-kuat, menerobos kulit bumi hingga aku terjebak dalam ruang pengap dan gelap tak berjendela,

tapi kadang juga hidupku bagai balon udara yang menyeretku terbang melayang menikmati kebebasan bernapas dan membuatku gembira pada pemandangan di bawahku namun dengan diikuti perasaan getir takut jatuh,


hiduku adalah ketakutan pada hantu-hantu putus asa dan kemalasan yang selalu bergentayangan di hadapan wajahku, dan hidupku juga harapan pada setitik api yang dapat membakar gairah kehidupanku dengan menghanguskan terlebih dahulu hantu-hantu gentayangan itu,


hidupku? terlampau rumit untuk dapat kuuraikan satu persatu tanpa aku mengalami kebingungan sendiri...

mlg, mei 2002

nangis

-hidup yang makin berasa absurd


Sebenarnya, saya ingin menangis untuk segala kesakitanku. Tapi aku ragu, sanggupkah airmata, dalam jumlah meruah pun, menghapuskan sumber segala laraku. Aku bertanya-tanya, layakkah hidup disebut sebagai sebuah anugrah bila yang ada hanya derita tanpa sudah. Masih patutkah hidup disyukuri, dan “Tuhan” diimani untuk selanjutnya disanjung-puji dalam tiap sembahyang serta untaian doa, saat yang tercecapi hanya pahitnya rasa di sekujur usia.


Membicarakan hidup, membincangkan “Tuhan”, dan menguraikan derita ke dalam kata-kata, mungkin hanya akan menghabiskan terlampau banyak energi yang sayangnya akan berakhir sia-sia belaka. Tapi hidup bisa jadi memang tak lebih dari menjalani segala kesia-siaan guna melupakan kesakitan kita yang akan makin terasa sakit apabila kita hanya berdiam diri laiknya berhala. Kau boleh bandingkan hidupmu, yang riuh dan hiruk-pikuk oleh segala rupa aktivitas, dengan hidup para pesakitan, para pengungsi korban keganasan alam atau peperangan, ataupun orang-orang yang terlahir lumpuh dan menghabiskan sepanjang hayatnya dalam ketidakberdayaan. Kau akan dapati betapa segala kesibukan tubuh dan pikiranmu, lepas dari betapapun absurdnya hidup ini sesungguhnya, membuat hidupmu masih jauh lebih beruntung: kau bisa melupakan kesia-siaan hidup ini dengan segala kesibukanmu; kau tak lagi sempat menyadari betapa hidup ini mungkin cuma sandiwara kosong belaka (Siddharta menyebut hidup sebagai kasunyatan atau kekosongan, dan belakangan dengan metode Quantum dan Relativitas dalam Fisika ditemukan bukti yang seayun-sejalan: dalam aras sub-kulit atom, apa yang kita sebut sebagai “ruang” dan “waktu” tak lebih dari sebuah ilusi indriawi-dan-pikiran (tubuh) belaka).


Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa di dunia ini mesti ada makhluk yang sanggup mengalami evolusi fisik dan kesadaran yang, sayangnya, pada akhirnya membuat dirinya merasakan betapa susah dan tak adilnya hidup ini? Menjadi binatang, tetumbuhan, ataupun bebatuan, bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi menjadi “binatang berkesadaran” (animal rationale, kata Aristoteles) adalah sebuah beban berat saat hidup tidak terselenggarakan di “surga” (terlepas seperti apapun persepsi kita tentangnya) melainkan di permukaan sebutir planet mungil (di antara benda-benda angkasa lain yang tak terbilang jumlahnya) dengan suasana yang menggetirkan dan dari hari ke hari makin terancam dan muram oleh tingkah-polah si “binatang berkesadaran” itu sendiri (dunia tak menjadi lebih buruk hingga muncul makhluk yang menakjubkan tapi sekaligus juga menyeramkan yang disebut “manusia”—si “binatang berkesadaran” itu).


Konon, menurut Sigmund Freud, penderitaan manusia datang dari tiga arah: (1) gerak-gerik alam yang tak sepenuhnya dapat ditundukkan, (2) tubuh yang memang fana, yang menjadi sumber kenikmatan sekaligus kesakitan, dan (3) hubungan dengan sesama manusia. Untuk yang pertama, sekedar sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita betapa ratusan ribu nyawa terampas putus oleh sapuan Tsunami di Aceh, dan ratusan ribu lainnya mesti melanjutkan hidup dalam nestapa dan trauma setelah keluarga dan harta-bendanya raib dengan cara amat mengerikan. Untuk yang kedua, segala rasa nikmat ataupun sakit hanya berasal dari tubuh, karena tubuh adalah satu-satunya media bagi segala pengalaman manusia (Heidegger menyebut manusia dengan istilah dasein—makhluk yang, karena tubuhnya, selalu ”ada-dalam-dunia”; Faucoult mengatakan bahwa tubuh adalah satu-satunya obyek bagi hukuman maupun represi). Selama masih hidup, tak satu pun manusia kuasa menghindar dari segala penderitaan yang bermuasal dari tubuhnya. Untuk yang ketiga, yang terkait dengan hubungan dengan sesama manusia, bisa dikatakan bahwa hubungan antar manusia, sepanjang sejarah yang kita ketahui, sama sekali tak bersih dari kesalahpahaman, penindasan, ketidakadilan, perang, dsb; singkatnya, tak bersih dari bercak noda dan darah. Makin banyak jumlah populasi manusia di muka bumi, makin rumit pula kehidupan ini bagi kita. Mengatur hubungan dengan dua orang, misalnya, tentu, bagaimanapun juga, akan jauh lebih gampang dibanding mengatur hubungan dengan dua ratus atau dua ribu orang (dan celakanya penduduk bumi saat ini telah melewati angka enam miliar!).


Kisah metaforis kejatuhan Adam dan Hawa yang diwariskan turun-temurun dalam kredo tiga agama arus-utama (Yahudi, Kristiani, dan Islam) setidaknya menegaskan bahwa hidup di dunia ini, tak lain dan tak bukan, memang “sebuah hukuman”. Biarpun tiga agama itu juga menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling sempurna, paling istimewa, yang jadi “wakil Tuhan di muka bumi”, juga memaklumatkan bahwa hidup adalah sebuah anugrah, tapi ketiga agama tersebut juga tak bisa dengan entengnya mengaburkan makna tentang kisah metaforis kejatuhan Adam-Hawa yang dituturkannya sendiri itu (barangkali memang tak ada kumpulan teks yang isinya saling menyanggah, saling bertolak-belakang, melebihi apa yang kita sebut sebagai “kitab suci”. Dalam hidup keseharian, kita dapati bukti bahwa agama bisa menjadi “madu” tapi dapat pula menjelma “racun”. Banyak kebajikan yang terinspirasi ajaran agama, banyak pula angkara-murka yang dilegitimasi oleh teks-teks agama. Tak ada yang lebih membingungkan daripada apa yang kita sebut sebagai “sabda Tuhan”. Entah, seberapa penting arti agama bagi manusia di abad ini, saya tak begitu tahu).


Baiklah, mungkin gagasan yang kuuraikan berjalan terlampau jauh. Tapi, ya, gagasan! Itulah kata kuncinya. Manusia hidup dengan gagasan yang beraneka ragam. Dan gagasan selalu bertautan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sebagai makhluk bertubuh dan berkesadaran, kita memang tak bisa luput dari pengalaman dan pengetahuan yang mencetuskan gagasan. Dan segala rupa gagasan, tentang apapun itu, tak ada yang absolut—segalanya serba relatif, tak ada yang pasti, sebagaimana kemampuan manusia yang dibatasi oleh tubuh, dan seperti halnya dunia yang tetap tak ubahnya terra incognita, “area asing”.


Mungkin karena itulah, ajaran-ajaran kebijaksanaan dari Dunia Timur, semisal Budhisme, Zen, Tao, dan Sufisme dari berbagai agama, menganjurkan manusia untuk melepaskan segala gagasan, segala pemikiran, mengenai hidup, dan menyisakan bagi hidup ini hanya penghayatan semata: merasakan kebersatuan/kemenyatuan diri dengan semesta raya yang maha tak terkira agungnya, bahwa manusia yang teramat kecil dan lemah ini juga bagian tak terpisahkan dari alam semesta yang tak terpermanai besarnya. Tapi, lagi-lagi, di zaman penuhanan rasio, ditambah lagi tafsir konvensional monoteisme tiga agama arus-utama yang juga rasio-sentris, tidakkah ajaran-ajaran kebijaksanaan itu tak lebih dari pepesan-kosong belaka untuk dipraktekkan dalam hidup sehari-hari?!


Barangkali, saya sebenarnya hanya butuh menangis untuk segala kesakitan saya, tapi sayangnya saya tak jua kuasa untuk meneteskan airmata. Maka lahirlah gagasan-gagasan yang berlalu –lalang di dalam kepala ke dalam catatan ini. Kita, bisa jadi, memang cuma perlu tawa dan tangis sebagai wujud apresiasi bagi hidup ini, karena hidup memang serba ambigu, tak pasti! Ya, menangis, sebagaimana tertawa, bisa mengendurkan otot-otot psikis yang sedang menegang oleh beban hidup dan kesakitan.


Saya cuma perlu tertawa dan menangis, seabsurd apapun hidup ini terasa…[]

desember 2008

mati

Bisa jadi hidup ini memang tak lebih dari sekedar sandiwara, atau bahkan lelucon, belaka. Bila tidak, mengapa orang tetap tak kehilangan selera humor bahkan di depan tubuh si mati?

Di pekuburan, pagi ini, saat mengantarkan mayit seorang tetangga yang mati dinihari tadi, saya dan orang-orang seperti tak merasakan kengerian sama sekali. Puluhan orang malah nampak saling bersendagurau dalam kelompok-kelompok kecil di tempat yang dulu dianggap sakral itu. Saya sendiri tak urung juga ikut bergabung dalam salah satu kelompok, turut bersendagurau, juga bergelaktawa, sembari menunggu sekelompok orang yang menguruk si mayit di liang lahat selesai, untuk kemudian disambung dengan ritual pemanjatan doa bagi si mayit oleh seluruh hadirin dipimpin seorang tokoh agama setempat.

Ada apa dengan kematian? Saya sendiri tak tahu, sebagaimana saya tak paham apa sebenarnya makna dan tujuan hidup manusia di alam fana ini. Saya cuma berpikir, jangan-jangan memang tak ada yang sakral sebenarnya dalam hidup ini, termasuk juga dengan kematian. Kematian, agaknya hanya menyisakan duka bagi para anggota keluarga terdekat karena sebuah kehilangan. Bagi orang lain, serasa tak ada yang perlu ditangisi, atau setidaknya ditakuti, dari sebuah momen kematian.

Siti Jenar, si “waliyullah” yang didakwa “murtad” oleh Sunan Kudus dan penguasa Demak Bintoro di abad keenambelas itu, menyebut kehidupan sebagai “alam kematian”. Hidup sejati, dalam ajaran Jenar, adalah hidup sesudah kematian: Saat ruh telah terbebas dari penjara tubuh. Sebuah ajaran yang ganjil, tentu saja, bagi kebanyakan manusia.

Tapi ajaran Jenar memang tak bisa dipahami secara harfiah. Kita tahu, bahwa manusia, dengan tubuhnya, adalah seonggok materi. Dan setiap materi mengandung energi. Dan kita juga tahu, energi bersifat abadi (ingat tentang Hukum Kekekalan Energi). Energi tak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan; ia hanya bisa berubah wujud. Minyak yang dibakar menghasilkan kalori/panas, cahaya/api, dan zat sisa-sisa pembakaran. Demikian pula dengan kehidupan tubuh manusia. Tatkala tubuh mati, ada substansi yang terlepas darinya, yakni ruh, yang bersifat abadi. Maka, kematian, bisa jadi, memang tak ubahnya “berpindah alam” semata: dari alam material yang kasatmata menuju alam immaterial yang gaib adanya. Tapi bagaimana atau seperti apa hukum kehidupan di alam setelah kematian, tetap menjadi sebuah terra incognita, tak satu pun dari kita yang tahu pasti.

Namun setidaknya, bila mengingat segala penderitaan manusia adalah bersumber dari tubuhnya, maka kematian, momen saat ruh berpisah dari tubuh itu, memang tak selayaknya ditakuti. Ia bisa jadi justru momen indah yang mengantarkan manusia pada kehidupan tanpa derita (karena ketiadaan tubuh yang semula menyertainya).

Seperti di pagi nan cerah hari ini, sendagurau dan gelaktawa para pelayat di tanah pekuburan saat digelar prosesi pemakaman bagi si mayit tetangga itu, makin meneguhkan keyakinan saya bahwa kematian bukanlah momen sakral dan mengerikan sebagaimana dulu saya dapatkan gambarannya dari cerita-cerita buku agama.

Tapi bila benar kematian bukan lagi momen menakutkan, mungkin hidup ini sendirilah yang sebenarnya justru tarasa mengerikan.

Entahlah...[]

desember 2008