Senin, 22 Juni 2009

mati

Bisa jadi hidup ini memang tak lebih dari sekedar sandiwara, atau bahkan lelucon, belaka. Bila tidak, mengapa orang tetap tak kehilangan selera humor bahkan di depan tubuh si mati?

Di pekuburan, pagi ini, saat mengantarkan mayit seorang tetangga yang mati dinihari tadi, saya dan orang-orang seperti tak merasakan kengerian sama sekali. Puluhan orang malah nampak saling bersendagurau dalam kelompok-kelompok kecil di tempat yang dulu dianggap sakral itu. Saya sendiri tak urung juga ikut bergabung dalam salah satu kelompok, turut bersendagurau, juga bergelaktawa, sembari menunggu sekelompok orang yang menguruk si mayit di liang lahat selesai, untuk kemudian disambung dengan ritual pemanjatan doa bagi si mayit oleh seluruh hadirin dipimpin seorang tokoh agama setempat.

Ada apa dengan kematian? Saya sendiri tak tahu, sebagaimana saya tak paham apa sebenarnya makna dan tujuan hidup manusia di alam fana ini. Saya cuma berpikir, jangan-jangan memang tak ada yang sakral sebenarnya dalam hidup ini, termasuk juga dengan kematian. Kematian, agaknya hanya menyisakan duka bagi para anggota keluarga terdekat karena sebuah kehilangan. Bagi orang lain, serasa tak ada yang perlu ditangisi, atau setidaknya ditakuti, dari sebuah momen kematian.

Siti Jenar, si “waliyullah” yang didakwa “murtad” oleh Sunan Kudus dan penguasa Demak Bintoro di abad keenambelas itu, menyebut kehidupan sebagai “alam kematian”. Hidup sejati, dalam ajaran Jenar, adalah hidup sesudah kematian: Saat ruh telah terbebas dari penjara tubuh. Sebuah ajaran yang ganjil, tentu saja, bagi kebanyakan manusia.

Tapi ajaran Jenar memang tak bisa dipahami secara harfiah. Kita tahu, bahwa manusia, dengan tubuhnya, adalah seonggok materi. Dan setiap materi mengandung energi. Dan kita juga tahu, energi bersifat abadi (ingat tentang Hukum Kekekalan Energi). Energi tak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan; ia hanya bisa berubah wujud. Minyak yang dibakar menghasilkan kalori/panas, cahaya/api, dan zat sisa-sisa pembakaran. Demikian pula dengan kehidupan tubuh manusia. Tatkala tubuh mati, ada substansi yang terlepas darinya, yakni ruh, yang bersifat abadi. Maka, kematian, bisa jadi, memang tak ubahnya “berpindah alam” semata: dari alam material yang kasatmata menuju alam immaterial yang gaib adanya. Tapi bagaimana atau seperti apa hukum kehidupan di alam setelah kematian, tetap menjadi sebuah terra incognita, tak satu pun dari kita yang tahu pasti.

Namun setidaknya, bila mengingat segala penderitaan manusia adalah bersumber dari tubuhnya, maka kematian, momen saat ruh berpisah dari tubuh itu, memang tak selayaknya ditakuti. Ia bisa jadi justru momen indah yang mengantarkan manusia pada kehidupan tanpa derita (karena ketiadaan tubuh yang semula menyertainya).

Seperti di pagi nan cerah hari ini, sendagurau dan gelaktawa para pelayat di tanah pekuburan saat digelar prosesi pemakaman bagi si mayit tetangga itu, makin meneguhkan keyakinan saya bahwa kematian bukanlah momen sakral dan mengerikan sebagaimana dulu saya dapatkan gambarannya dari cerita-cerita buku agama.

Tapi bila benar kematian bukan lagi momen menakutkan, mungkin hidup ini sendirilah yang sebenarnya justru tarasa mengerikan.

Entahlah...[]

desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar