Senin, 22 Juni 2009

tangisan hujan

:: show me the meaning of being fallen


Sore ini hujan tumpah tak terlampau deras. Tapi, selalu saja saya terobsesi padanya, seolah ia peri yang datang membawakan seribu mimpi kepada seorang anak manusia yang senantiasa dihimpit rasa sakit. Semasa kecil dulu, saya selalu tumpah-ruah di jejalanan desa, kadang bersama rekan-rekan sepermainan, kadang sendirian, membentangkan kedua tangan, menengadahkan wajah menantang langit, berkomat-kamit membuka-nutup mulut, mencumbui hujan... Selazimnya anak kecil, saya selalu tak peduli pada akibat dari segala perbuatan. Tak peduli sehabis berpuas diri berdekapan dengan hujan, tubuh akan diserang gigil, sering malah terserang demam berkepanjangan. Kepuasan, bagi anak-anak, mungkin lebih berharga bahkan dari sekedar nyawa sendiri. Maut seolah cuma bualan atau khayalan yang didongengkan para pesakitan dan lansia jompo, sementara kepuasan sungguh perkara yang tak bisa ditunda-tunda. Maka selagi badan sedang tak tergolek karena sakit, saya serasa tak ingin terpisahkan dari berdekapan dengan hujan. Saya selalu menunggui saat-saat menjelang turun hujan di selasar rumah, dan selanjutnya menghambur ke jejalanan begitu butir-butir pertama air hujan berlesatan menusuki tanah. Riang bak menyambut piala kemenangan, rasanya.


Tapi tidak lagi, semenjak saya menyadari bahwa diri bukan anak kecil lagi, setidaknya untuk sore ini. Tubuh dan jiwaku terasa nyeri, perih, bahkan saat dalam bekapan hujan...


Di senja kali ini, mataku berkaca-kaca, namun tetap kupaksa untuk menikmati hujan dari balik kaca naco jendela rumahku. Ada bulir-bulir air yang hendak tumpah dari dua kelopak mata, namun kucegah. Terasa ribuan bayangan masa silam, masa kecilku dulu, berhamburan satu per satu dalam ingatanku, selaiknya parade gambar (slide show) di layar komputer. Betapa aku terpesona pada mulanya. Namun pesona itu sedetik kemudian berganti kegetiran saat kusadari posisiku, siapa diriku, saat ini. Betapa manis masa silam, betapa remang hari sekarang. Ibarat harus membentang benang di antara puncak dan jurang, aku mesti kembali mendaki dengan hanya berpegangan pada sehelai benang yang nyata namun rapuh. Bila putus di tengah pendakian, aku akan makin terkubang di dalam jurang dan mau tak mau mesti mempersiapkan batu nisanku sedini mungkin. Begitulah, semenjak kecil kubangun mimpi-mimpi, bata demi bata, dengan telaten. Dan kau tahu, kini mimpi-mimpi itu runtuh perlahan, menimbunku, mengubur diriku dalam ketidakberdayaan.

Lalu aku menghambur ke luar menuju pekarangan belakang rumah. Kemudian kuambil posisi duduk berjongkok di bawah pohon kelapa, merasakan bulir-bulir air hujan yang menetes perlahan dari pepucuk dedaunan, membasahi sekujur tubuhku. Pandanganku tertuju pada segerombol pohon bambu yang dedaunannya mulai menghijau di musim penghujan kali ini, namun tatapanku kosong selaksa tak bersukma. Bayangan akan hari silam masih menyeruak memenuhi kepalaku. Makin pahit rasanya hidupku di senja ini biarpun sedang dalam dekapan hujan. Makin perih sakit itu, makin muak aku pada pilin-pilin takdir yang pelan-perlahan melumatkan hasrat hidupku.


di rembang petang aku menunggu hadirmu

sebait lagu tlah kupersiapkan buat menyambutmu

tak lupa kutitipkan sehelai suratku pada sekawanan kelelawar

barangkali mereka menjumpaimu di tengah perjalanan

mengarungi malam

takut bila kau tak lekas datang...


Hingga tanpa terasa senja telah meremang di ambang petang. Mungkin usiaku sendiri juga telah meremang petang, biarpun baru setahun kemarin rasanya kutiti masa remaja dengan perasaan gamang menatap hari depan. Kalaulah bukan usiaku, mungkin jiwaku yang terlampau cepat mengaus mendahului tubuhku karena terlampau banyak beban memberati hidupku. Oh ya, perlu kuberitahukan kepadamu, sedetik lalu telah kuputuskan untuk menghancur-leburkan puing-puing mimpiku yang telah rubuh itu dengan cara mengremasinya tanpa harus ada serangkaian upacara dan lantunan mantra serta doa, lantas kularung abunya ke laut lepas. Sebulan sebelumnya juga kuputuskan 'tuk melakukan hal yang sama pada sebuah berhala usang di dalam pikiranku yang sering kusembah dan kusebut “Tuhan”. Kini aku tak lagi punya apa-apa. Itu berarti aku juga bukan siapa-siapa lagi, di depanmu, juga di hadapan kehidupan. Aku, persis kata Chairil, “hilang bentuk, remuk!”


Maka inilah satu-satunya tempat kau dapat menziarahiku, mengenang impianku, sukacitaku, dukalaraku, kenaifanku, kelucuanku, kelancanganku, kesilapanku, dan segala yang pernah kutumpahkan dalam barisan aksara dan tanda baca, hingga kau bisa melupakanku dalam hari-harimu. Dan, bila kau sudi, cumbui arwahku yang nelangsa dalam tiap butiran hujan yang mengusap lembut keningmu, pipimu, dan bibirmu... Aku senantiasa ada dalam hujan, dalam tiap momen ke-jatuh-an...


ambangbatas 11 & 12 desember 2008

susah sungguh melupakanmu penuh seluruh

kau senantiasa ada dan manja...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar