Senin, 22 Juni 2009

wardi

- satu-satunya perjudian yang halal adalah hidup itu sendiri

Wajahnya tirus dengan kulit hitam dan seperti nyaris berkeriput. Perawakannya kecil dan pendek. Usianya sekitar 35 tahun. Belum tua benar, memang. Namun beban hidup yang menggunung di punggungnya telah merenggut tubuhnya hingga membuatnya mirip orang yang telah berusia kepala empat atau bahkan lima. Saya mengenalnya sejak kecil. Kebetulan ia adalah tetangga dekat rumah. Wardi, begitulah ia biasa dipanggil.

Malam itu saya, bersama beberapa anak muda lainnya, bercengkrama dengannya di gardu siskamling di salah satu perempatan jalan desa kami. Ia mengutarakan niatnya untuk merantau ke Pulau Bali dalam waktu dekat ini. “Nyari duit gede,” katanya memberi alasan, “bosan terus-terusan jadi kuli bangunan dan buruh tani. Tak ada hasil berlebih, sementara harga sembako makin tak terbeli.” Sebagai anak sulung dengan enam orang adik yang kebanyakan masih berusia remaja, juga kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut, Wardi adalah tumpuan utama ekonomi keluarga. Sejak umur belasan tahun ia jalani hari-harinya sebagai buruh tani, kadang juga menjadi kuli bangunan bila ada tukang-tukang bangunan yang mengajaknya turut serta dalam pekerjaan mereka. Sebagai tulang punggung keluarga, ia tak bisa pilih-pilih pekerjaan. Kerja apapun asalkan halal dan menghasilkan uang, ungkapnya. Mungkin juga itu sebabnya, di usia yang telah kepala tiga, ia belum juga menikah. “Boro-boro mau nikah, nyari duit buat menyambung hidup keluarga sendiri saja masih susah,” keluhnya suatu hari saat dicecar pertanyaan para tetangga. Dalam adat kehidupan desa kami, lelaki yang telah lewat 30 tahun dan masih melajang akan dikatai sebagai “bujang lapuk”, sementara perempuannya akan disebut “pratu” alias perawan tua.

Setahu saya, limabelas tahun silam Wardi pernah mengadu nasib di tanah Papua. Tak kurang lima tahun ia bekerja di propinsi paling timur itu. Mula-mula bekerja sebagai buruh di toko bangunan milik seorang pendatang asal Surabaya di salah satu sudut kota Jayapura. Belakangan hari, karena tergiur uang yang lebih besar, ia ikut-ikutan mendulang emas di daerah Timika. Waktu itu sedang tren “penambangan liar” oleh masyarakat. Seturut penuturannya, ia dan ribuan orang lainnya, baik pribumi maupun pendatang, mengais sisa-sisa emas di sungai yang dijadikan tempat pembuangan limbah cair (tailing) Freeport (PT. Freeport-McMoran Indonesia). Hasilnya lumayan waktu itu, tuturnya. Sebulan ia bisa mengumpulkan uang antara limaratus ribu hingga sejuta rupiah. Uang senilai itu tergolong besar mengingat nilai satu dolar saat itu masih di kisaran duaribuan rupiah. Kira-kira setara dengan dua-tiga kali lipat gaji pegawai negeri rendahan waktu itu. Dengan untung yang diraup sebesar itu, serasa ia tak perlu menaruh iri-hati pada keberadaan Freeport, meski perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia itu “menyerobot” tak kurang tiga juta hektar kawasan pegunungan Erstberg dan Garsberg di Mimika untuk dijadikan daerah konsesinya, dan setiap tahunnya puluhan miliar dolar mengalir deras ke pundi-pundi bangsa Amerika. Sebagai orang kampung yang hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, orang-orang seperti Wardi cukup puas dengan hasil peluhnya sendiri, yang mungkin “tak seberapa” itu, dan tak perlu tahu bahwa orang-orang dari negeri asing nun jauh mendapat hasil beribu-ribu kali lipat sembari meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah dan juga menyulut konflik sosial akibat luka ketidakadilan yang menyayat sanubari jutaan warga pribumi Papua (dan Jakarta, selaku pemberi ijin konsesi Freeport, alih-alih memperbaiki keadaan, justru mengirim berbatalion-batalion serdadu untuk "menjaga keamanan" Freeport dari “ancaman” pribumi).

Saya jadi teringat ungkapan satir Minke, sang tokoh utama roman Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, tepatnya di sekuel ketiga, Jejak Langkah, yang kurang-lebih demikian: “berbahagialah mereka yang tidak mengetahui (praktek ketidakadilan)”. Syahdan, di sekuel Jejak Langkah yang berlatar-waktu awal abad keduapuluh itu, Minke merasakan begitu amat beratnya beban kewajiban yang ditimpakan di punggungnya untuk membangunkan sebangsanya dari tidur-nyeyak kebodohan yang melanggengkan penghisapan dan penistaan kolonial Belanda atas pribumi Hindia. Hanya mereka yang tak menyadari bahwa sesuatu yang terjadi di depan wajahnya adalah sebuah ketidakadilan sajalah, yang bisa hidup tenang meski dalam kemiskinan akut sekalipun. Dan orang-orang seperti Wardi mungkin masuk di dalamnya. Yang Wardi tahu dan diimaninya bulat-bulat, seperti pernah dituturkannya suatu hari, nasib manusia telah “ditulis” di lembaran-lembaran Lauhul Mahfudz. Dan hanya Tuhan sajalah yang tahu. Manusia hanya bisa menerka, mereka-reka, meraba-raba, dengan usaha semampunya. “Hidup tak bedanya perjudian. Kita hanya mempertaruhkan nasib dengan ikhtiar, dan tak pernah tahu apa bakal terjadi,” katanya. Dan setahunya, hasil mendulang untung di Papua itu sudah berlipat-lipat besarnya dibanding uang yang bisa ia peroleh di kampung halaman sendiri. Dan sudah barangtentu ia bersyukur untuk semua itu.

Lima tahun mengadu peruntungan di bumi Papua itu memang membuat kehidupan ia dan keluarganya relatif membaik. Tapi itu tak berlangsung lama. Tipikal khas kebanyakan orang desa apabila mendapatkan rejeki berlimpah adalah “kagetan”. Maksudnya, mereka tak begitu pandai mengelola uang. Uang dalam jumlah berlimpah ruah pun tak akan bertahan lama karena akan segera dibelanjakan barang-barang yang sesungguhnya tak begitu mereka perlukan. Jarang terbersit di benak untuk menginvestasikan uangnya, entah dibelikan hewan ternak ataupun ditabung guna berjaga-jaga untuk kebutuhan di hari depan. Dan ironisnya, jarang pula orang desa yang punya keterampilan berlebih untuk memulai suatu usaha di berbagai bidang, termasuk perniagaan. Kebanyakan mereka hanya hidup sebagai buruh tani, turun-temurun. Alhasil, rejeki yang dibawa pulang Wardi dari Papua itupun kini hanya menyisakan bangunan gedong 5x7 meter rumahnya yang sebelumnya hanya rumah gedek. Setahun-dua berselang sejak kepulangannya dari Papua, kesulitan ekonomi kembali mendera ia sekeluarga. Ia harus kembali menjadi buruh, baik buruh tani maupun buruh bangunan, untuk mengepulkan asap dapur keluarganya.

Dan sungguh saya tak menyadari, tak terlintas barang sekilas pun dalam benak, persuaan dengan Wardi di gardu siskamling malam itu ternyata adalah perjumpaan untuk terakhir kalinya. Beberapa saat lalu, seorang kawan di desa mengabari bahwa Wardi terseret arus sungai saat hendak berangkat menuju ladangnya yang terletak di seberang Sungai Mayang. Pagi itu, rakit-kerek yang ia pergunakan untuk menyeberang bersama tiga orang lainnya terbalik. Dua orang berhasil diselamatkan, sedangkan Wardi beserta seorang lainnya ditemukan telah menjadi jenasah keesokan harinya. Musim penghujan memang telah membuat air sungai selebar duapuluhan meter itu meluap, dan hanya rakit-kerek yang menjadi tumpuan orang-orang yang hendak berladang dan mencari rumput di tanah perladangan di seberang sungai. Dan di atas rakit penyeberangan itulah hidup Wardi dipertaruhkan—dan ia kalah. Juga ia kalah sebelum mencoba peruntungan di Pulau Dewata seperti yang ia rencanakan sebelumnya.

Manusia memang tak pernah tahu bagaimana hasil dari tiap usahanya, tak pernah tahu apa yang bakal terjadi dalam hidupnya, tak pernah tahu akan seperti apakah wujud dari segala rencana yang ia bikin, juga tak pernah tahu kapan maut datang menyergap.

Terngiang kembali ucapan Wardi: Hidup tak bedanya perjudian. Kita hanya mempertaruhkan nasib dengan ikhtiar, dan tak pernah tahu apa bakal terjadi.

Mungkin hidup memang sebuah perjudian; perjudian yang halal..[]

januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar