Senin, 22 Juni 2009

nangis

-hidup yang makin berasa absurd


Sebenarnya, saya ingin menangis untuk segala kesakitanku. Tapi aku ragu, sanggupkah airmata, dalam jumlah meruah pun, menghapuskan sumber segala laraku. Aku bertanya-tanya, layakkah hidup disebut sebagai sebuah anugrah bila yang ada hanya derita tanpa sudah. Masih patutkah hidup disyukuri, dan “Tuhan” diimani untuk selanjutnya disanjung-puji dalam tiap sembahyang serta untaian doa, saat yang tercecapi hanya pahitnya rasa di sekujur usia.


Membicarakan hidup, membincangkan “Tuhan”, dan menguraikan derita ke dalam kata-kata, mungkin hanya akan menghabiskan terlampau banyak energi yang sayangnya akan berakhir sia-sia belaka. Tapi hidup bisa jadi memang tak lebih dari menjalani segala kesia-siaan guna melupakan kesakitan kita yang akan makin terasa sakit apabila kita hanya berdiam diri laiknya berhala. Kau boleh bandingkan hidupmu, yang riuh dan hiruk-pikuk oleh segala rupa aktivitas, dengan hidup para pesakitan, para pengungsi korban keganasan alam atau peperangan, ataupun orang-orang yang terlahir lumpuh dan menghabiskan sepanjang hayatnya dalam ketidakberdayaan. Kau akan dapati betapa segala kesibukan tubuh dan pikiranmu, lepas dari betapapun absurdnya hidup ini sesungguhnya, membuat hidupmu masih jauh lebih beruntung: kau bisa melupakan kesia-siaan hidup ini dengan segala kesibukanmu; kau tak lagi sempat menyadari betapa hidup ini mungkin cuma sandiwara kosong belaka (Siddharta menyebut hidup sebagai kasunyatan atau kekosongan, dan belakangan dengan metode Quantum dan Relativitas dalam Fisika ditemukan bukti yang seayun-sejalan: dalam aras sub-kulit atom, apa yang kita sebut sebagai “ruang” dan “waktu” tak lebih dari sebuah ilusi indriawi-dan-pikiran (tubuh) belaka).


Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa di dunia ini mesti ada makhluk yang sanggup mengalami evolusi fisik dan kesadaran yang, sayangnya, pada akhirnya membuat dirinya merasakan betapa susah dan tak adilnya hidup ini? Menjadi binatang, tetumbuhan, ataupun bebatuan, bukanlah sesuatu yang buruk. Tapi menjadi “binatang berkesadaran” (animal rationale, kata Aristoteles) adalah sebuah beban berat saat hidup tidak terselenggarakan di “surga” (terlepas seperti apapun persepsi kita tentangnya) melainkan di permukaan sebutir planet mungil (di antara benda-benda angkasa lain yang tak terbilang jumlahnya) dengan suasana yang menggetirkan dan dari hari ke hari makin terancam dan muram oleh tingkah-polah si “binatang berkesadaran” itu sendiri (dunia tak menjadi lebih buruk hingga muncul makhluk yang menakjubkan tapi sekaligus juga menyeramkan yang disebut “manusia”—si “binatang berkesadaran” itu).


Konon, menurut Sigmund Freud, penderitaan manusia datang dari tiga arah: (1) gerak-gerik alam yang tak sepenuhnya dapat ditundukkan, (2) tubuh yang memang fana, yang menjadi sumber kenikmatan sekaligus kesakitan, dan (3) hubungan dengan sesama manusia. Untuk yang pertama, sekedar sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita betapa ratusan ribu nyawa terampas putus oleh sapuan Tsunami di Aceh, dan ratusan ribu lainnya mesti melanjutkan hidup dalam nestapa dan trauma setelah keluarga dan harta-bendanya raib dengan cara amat mengerikan. Untuk yang kedua, segala rasa nikmat ataupun sakit hanya berasal dari tubuh, karena tubuh adalah satu-satunya media bagi segala pengalaman manusia (Heidegger menyebut manusia dengan istilah dasein—makhluk yang, karena tubuhnya, selalu ”ada-dalam-dunia”; Faucoult mengatakan bahwa tubuh adalah satu-satunya obyek bagi hukuman maupun represi). Selama masih hidup, tak satu pun manusia kuasa menghindar dari segala penderitaan yang bermuasal dari tubuhnya. Untuk yang ketiga, yang terkait dengan hubungan dengan sesama manusia, bisa dikatakan bahwa hubungan antar manusia, sepanjang sejarah yang kita ketahui, sama sekali tak bersih dari kesalahpahaman, penindasan, ketidakadilan, perang, dsb; singkatnya, tak bersih dari bercak noda dan darah. Makin banyak jumlah populasi manusia di muka bumi, makin rumit pula kehidupan ini bagi kita. Mengatur hubungan dengan dua orang, misalnya, tentu, bagaimanapun juga, akan jauh lebih gampang dibanding mengatur hubungan dengan dua ratus atau dua ribu orang (dan celakanya penduduk bumi saat ini telah melewati angka enam miliar!).


Kisah metaforis kejatuhan Adam dan Hawa yang diwariskan turun-temurun dalam kredo tiga agama arus-utama (Yahudi, Kristiani, dan Islam) setidaknya menegaskan bahwa hidup di dunia ini, tak lain dan tak bukan, memang “sebuah hukuman”. Biarpun tiga agama itu juga menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling sempurna, paling istimewa, yang jadi “wakil Tuhan di muka bumi”, juga memaklumatkan bahwa hidup adalah sebuah anugrah, tapi ketiga agama tersebut juga tak bisa dengan entengnya mengaburkan makna tentang kisah metaforis kejatuhan Adam-Hawa yang dituturkannya sendiri itu (barangkali memang tak ada kumpulan teks yang isinya saling menyanggah, saling bertolak-belakang, melebihi apa yang kita sebut sebagai “kitab suci”. Dalam hidup keseharian, kita dapati bukti bahwa agama bisa menjadi “madu” tapi dapat pula menjelma “racun”. Banyak kebajikan yang terinspirasi ajaran agama, banyak pula angkara-murka yang dilegitimasi oleh teks-teks agama. Tak ada yang lebih membingungkan daripada apa yang kita sebut sebagai “sabda Tuhan”. Entah, seberapa penting arti agama bagi manusia di abad ini, saya tak begitu tahu).


Baiklah, mungkin gagasan yang kuuraikan berjalan terlampau jauh. Tapi, ya, gagasan! Itulah kata kuncinya. Manusia hidup dengan gagasan yang beraneka ragam. Dan gagasan selalu bertautan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sebagai makhluk bertubuh dan berkesadaran, kita memang tak bisa luput dari pengalaman dan pengetahuan yang mencetuskan gagasan. Dan segala rupa gagasan, tentang apapun itu, tak ada yang absolut—segalanya serba relatif, tak ada yang pasti, sebagaimana kemampuan manusia yang dibatasi oleh tubuh, dan seperti halnya dunia yang tetap tak ubahnya terra incognita, “area asing”.


Mungkin karena itulah, ajaran-ajaran kebijaksanaan dari Dunia Timur, semisal Budhisme, Zen, Tao, dan Sufisme dari berbagai agama, menganjurkan manusia untuk melepaskan segala gagasan, segala pemikiran, mengenai hidup, dan menyisakan bagi hidup ini hanya penghayatan semata: merasakan kebersatuan/kemenyatuan diri dengan semesta raya yang maha tak terkira agungnya, bahwa manusia yang teramat kecil dan lemah ini juga bagian tak terpisahkan dari alam semesta yang tak terpermanai besarnya. Tapi, lagi-lagi, di zaman penuhanan rasio, ditambah lagi tafsir konvensional monoteisme tiga agama arus-utama yang juga rasio-sentris, tidakkah ajaran-ajaran kebijaksanaan itu tak lebih dari pepesan-kosong belaka untuk dipraktekkan dalam hidup sehari-hari?!


Barangkali, saya sebenarnya hanya butuh menangis untuk segala kesakitan saya, tapi sayangnya saya tak jua kuasa untuk meneteskan airmata. Maka lahirlah gagasan-gagasan yang berlalu –lalang di dalam kepala ke dalam catatan ini. Kita, bisa jadi, memang cuma perlu tawa dan tangis sebagai wujud apresiasi bagi hidup ini, karena hidup memang serba ambigu, tak pasti! Ya, menangis, sebagaimana tertawa, bisa mengendurkan otot-otot psikis yang sedang menegang oleh beban hidup dan kesakitan.


Saya cuma perlu tertawa dan menangis, seabsurd apapun hidup ini terasa…[]

desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar